LAKSANAKAN PERINTAH, JAUHI LARANGAN, DAN JANGAN BANYAK BERTANYA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka’.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim].
Hadits di atas dengan redaksi seperti itu diriwayatkan oleh Muslim dan ath-Thahâwi[1] dari riwayat az-Zuhri dan Sa’îd bin al-Musayyib dan Abu Salamah dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Hadits di atas juga diriwayatkan dari beberapa jalan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan lafazh:
ذَرُوْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ سُؤَالُهُمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَاءِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
Biarkan aku terhadap apa yang aku tinggalkan pada kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa oleh pertanyaan dan penentangan mereka kepada nabi-nabi mereka. Jika aku melarang sesuatu terhadap kalian, jauhilah. Dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian.
SYARAH HADITS
LARANGAN BANYAK BERTANYA
Hadits-hadits di atas menunjukkan tentang larangan menanyakan hal-hal yang tidak perlu karena jawaban pertanyaan tersebut justru menyusahkan penanya, misalnya pertanyaan penanya apakah ia di neraka atau di surga? Apakah ayahnya bernasabkan kepadanya atau tidak? Hadits-hadits di atas juga menunjukkan larangan bertanya dengan maksud membuat bingung, tidak berguna dan sia-sia, serta mengejek seperti biasa dilakukan orang-orang munafik dan orang-orang selain mereka.
Contoh lain juga ialah menanyakan hal-hal yang disembunyikan Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan tidak memperlihatkannya kepada mereka, seperti pertanyaan tentang waktu terjadinya hari Kiamat, hakikat ruh, dan lain sebagainya.
Hadits-hadits di atas juga melarang kaum Muslimin menanyakan banyak hal tentang halal dan haram karena jawabannya dikhawatirkan menjadi turunnya perintah keras di dalamnya, misalnya bertanya tentang haji, apakah haji wajib setiap tahun atau tidak. Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqâsh bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ.
Sesungguhnya kaum Muslimin yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, kemudian sesuatu tersebut diharamkan dengan sebab pertanyaannya itu.[6]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang li’an (suami-istri saling melaknat dengan sebab tuduhan berzina), (lihat an-Nûr/24 ayat 6-9) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka dengan pertanyaan seperti itu hingga penanya mendapatkan musibah karenanya sebelum menjatuhkannya pada istrinya.[7]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang desas-desus (gossip), banyak bertanya, dan menghambur-hamburkan harta.[8]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memberi keringanan kepada orang-orang Arab Badui dan orang-orang seperti mereka, misalnya delegasi-delegasi yang menghadap beliau guna mengambil (membujuk) hati mereka. Adapun Sahabat Muhajirin dan Anshar yang menetap di Madinah dan keimanan menancap kuat di hati mereka, maka mereka dilarang banyak bertanya.
Dalam Shahîh Muslim disebutkan hadits dari an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku tinggal bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah selama setahun, dan tidak ada yang menghalangiku untuk hijrah, melainkan bertanya. Karena, jika salah seorang dari kami berhijrah, maka tidak akan bisa bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[9]
Dalam Shahîh Muslim disebutkan hadits dari an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku tinggal bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah selama setahun, dan tidak ada yang menghalangiku untuk hijrah, melainkan bertanya. Karena, jika salah seorang dari kami berhijrah, maka tidak akan bisa bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[9]
Dalam Shahîh Muslim juga disebutkan hadits dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami dilarang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu. Yang membuat kami senang ialah seseorang yang berakal dari penduduk lembah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia bertanya kepada beliau sedang kami mendengarkannya.”[10]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih baik daripada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka hanya bertanya tentang dua belas masalah dan kesemuanya ada di dalam Al-Qur’ân; ‘Mereka bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi’ -al-Baqarah/2 ayat 219; ‘Mereka bertanya kepadamu tentang bulan Haram’ – al-Baqarah/2 ayat 217); ‘Mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim’ –al-Baqarah/2 ayat 220.”[11]
Terkadang para sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum sesuatu yang belum terjadi namun hal itu untuk diamalkan bila telah terjadi. Misalnya, mereka bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Kami akan bertemu musuh besok pagi. Kami tidak mempunyai pisau, bolehkah kami menyembelih dengan kayu?” Mereka juga bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang para penguasa yang beliau kabarkan sepeninggal beliau, tentang ketaatan kepada mereka, dan memerangi mereka. Dan Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah-fitnah dan apa yang mesti ia kerjakan pada zaman tersebut.[13]