Rahmatan Lil Alamin – Rahmat Bagi Seluruh Alam Semesta
Islam adalah agama rahmatan lil alamin, artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Allah tegaskan hal tersebut dalam firman-Nya, “Dan tidaklah engkau (Muhammad) diutus ke muka bumi ini kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya: 107).
Akan tetapi, hari ini makna rahmatan lil ‘alamin, dijadikan dalih bagi pemahaman-pemahaman ‘ngawur’. Rahmatan lil ‘alamin selalu dikaitkan dengan masalah toleransi dan intoleransi; kehidupan sosial dalam bernegara; berinteraksi dengan non muslim; serta masalah kearifan lokal. Meskipun ada benarnya, namun masalahnya tak sesederhana itu.
Jika hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal, karena opini masyarakat digiring kepada satu kesimpulan, bahwa Islam itu ada yang tidak rahmatan lil ‘alamin. Dampak lainnya adalah munculnya istilah-istilah asing yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam Islam, semacam Islam fundamental, Islam Arab, Islam Nusantara, Islam radikal dan semisalnya yang disematkan kepada suatu kelompok tertentu. Akar dari semua ini karena adanya pemaknaan yang salah terhadap makna rahmatan lil ‘alamin.
Padahal jika kita intip lebih dalam, tujuan dibalik semua itu tak lain untuk memberikan stigma negative terhadap umat Islam yang konsisten dengan keislamannya dan mencoba menerapkan syari’at Islam secara kaafah. Padahal, kalau kita merujuk kepada penafsiran dan penjelasan para ulama salaf, nampak jelas kegagalpahaman mereka yang membenci Islam.
Makna Rahmatan Lil ‘Alamin
Para mufassir (ulama ahli tafsir) berbeda pendapat ketika menafsirkan kata rahmatan lil ‘alamin dalam surat al-Anbiya’: 107 sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Imam Abu Ja’far at-Thabari berkata, “Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah rahmatan lil ‘alamin diperuntukkan khusus bagi orang Islam saja atau berlaku umum bagi seluruh manusia.”
Pendapat yang benar dalam hal ini adalah perkataan yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau mengatakan bahwa Allah mengutus Rasulullah sebagai rahmat bagi seluruh alam baik itu yang beriman ataupun mereka yang kafir. Kepada mereka yang beriman, Allah berikan hidayah, dan bagi golongan kafir, Allah tunda adzab bagi mereka sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu.” (Jami’u al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an, 18/552). Imam al-Qurtubi dan Ibnu Katsir juga mengiyakan pendapat tersebut. (al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an, 11/350 dan Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, 5/85).
Ibnu Katsir juga membawakan sebuah hadits dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa syari’at Rasulullah selain rahmatan lil ‘alamin juga berfungsi sebagai hadiah dari Allah, إنما أنا رحمة ومهدة (sesungguhnya aku adalah rahmat dan hadiah), demikian sabda Rasulullah.
Maknanya, Allah tidak akan menurunkan langsung adzab kepada orang-orang kafir dan ingkar sebagaimana Allah turunkan adzab kepada kaum Tsamud, ‘Ad, ditenggelamkannya Fir’aun, atau hujan batu bagi kaum Nabi Luth. Akan tetapi, Allah akan menunda adzab tersebut selama masih ada yang mengamalkan syari’at Nabi Muhammad sampai hari kiamat tiba. Itulah makna rahmatan lil’alamin bagi orang-orang kafir.
Syari’at Datang Membawa Maslahat
Inti syari’at Islam adalah maslahat, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Asyur, “Maksud umum dari syari’at secara global maupun terperinci adalah menjaga keberlangsungan maslahat.” (Maqashid as-Syari’ah al-Islamiyah, hlm. 148).
BACA JUGA Alkohol Jadi Faktor Utama Kematian dan Penyakit di Seluruh Dunia
Maslahat adalah salah satu cara untuk melihat bentuk rahmatan lil ‘alamin dari sisi kandungannya. Menurut Imam asy-Syatibi, maslahat yang terkandung dalam syari’at Islam berdasarkan tingkatannya dibagi menjadi tiga bagian: dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Maslahat adalah salah satu cara untuk melihat bentuk rahmatan lil ‘alamin dari sisi kandungannya. Menurut Imam asy-Syatibi, maslahat yang terkandung dalam syari’at Islam berdasarkan tingkatannya dibagi menjadi tiga bagian: dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Dharuriyat disebut juga dengan primer adalah kebutuhan yang jika tidak dipenuhi maka keselamatan umat manusia akan terancam. Hajiyat adalah kebutuhan sekunder yang jika tidak terpenuhi tidak sampai mengancam keselamatan manusia tapi akan menyusahkannnya, keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran bagi seorang mukallaf. Sedangkan tahsiniyat adalah semua keperluan dan perlindungan untuk membuat manusia lebih nyaman dan terlindungi. (al-Muwafaqat, 2/17). Dari tiga klasifikasi maslahat diatas, pembahasan tentang dharuriyat-lah yang menjadi inti dari maslahat.
Ada lima point penting kandungan dharuriyat, para ulama menyebutnya dengan dharuriyat al-Khamsah. Lima hal itu adalah: hifdz ad-din (penjagaan terhadap agama), hifdz an-nafs (penjagaan teradap jiwa), hifdz an-nasl (penjagaan terhadap keturunan), dan hifdz al-‘aql (penjagaan terhadap akal), hifdz al-maal (penjagaan terhadap harta). Kandungan inilah yang menjadi pondasi bangunan maslahat dalam syari’at Islam. Namun ia menjadi tak bermakna ketika berhenti pada tataran teori tanpa aplikasi. Adapun aplikasinya terbagi menjadi dua sisi: jihat al-wujud (sisi keharusan untuk mewujudkannya) dan jihat al-‘adam (sisi keharusan untuk menghilangkannya). Berikut beberapa contoh aplikasi dari dharuriyat al-khamsah.